Selebritynews.id | Tasikmalaya, Jawa Barat,- Sebagai salah satu wujud kepedulian terhadap masyarakat dan pentingnya pendidikan untuk seluruh anak bangsa serta memberitahukan dasar-dasar larangan adanya pungutan biaya dari segala bidang atau hal apapun yang ada didalam ruang lingkup Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), serta Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri yang sudah dibebankan sepenuhnya dala komponen dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) di setiap Sekolahan terhadap seluruh masyarakat atau wali murid yang selama ini masih banyak yang tidak memahaminya.
Larangan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Permendikbud) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan. Pada Pasal 26 berbunyi, Tahapan pelaksanaan PPDB meliputi : (a) pengumuman pendaftaran, (b) pendaftaran, (c) seleksi sesuai dengan jalur pendaftaran, (d) pengumuman penetapan peserta didik baru dan (e) daftar ulang. Pasal 27 ayat 1 berbunyi, Dalam tahapan pelaksanaan PPDB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 : (a) sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat yang telah menerima bantuan operasional sekolah dilarang memungut biaya, (b) sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dilarang: 1. melakukan pungutan dan/atau sumbangan yang terkait dengan pelaksanaan PPDB maupun perpindahan peserta didik, (2) melakukan pungutan untuk membeli seragam atau buku tertentu yang dikaitkan dengan PPDB. Ayat 2 berbunyi, Pelanggaran ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain larangan pungutan uang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di atas, sekolah pun telah dilarang keras menjual buku lembar kerja siswa (LKS) terhadap siswa, larangan tersebut pun tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 2 tahun 2008 tentang Buku, pasal (11) melarang sekolah menjadi distributor atau pengecer buku kepada peserta didik.
Pada Undang-Undang No.3 Tahun 2017 juga mengatur Sistem Perbukuan, tata kelola perbukuan yang dapat dipertanggung jawabkan secara menyeluruh dan terpadu, yang mencakup pemerolehan naskah, penerbitan, pencetakan, pengembangan buku elektronik, pendistribusian, penggunaan, penyediaan, dan pengawasan buku. Demikianpun dengan Buku LKS tidak diperjual belikan di sekolah .Siswa berhak membeli LKS ,namun tidak di sekolah. Orang Tua siswa beli LKS di toko buku.
Hal tersebut cukup jelas dalam Pasal 63 ayat (1) UU Sistem Perbukuan menegaskan, “Penerbit dilarang menjual buku teks pendamping secara langsung ke satuan dan atau program pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. Selain itu, dalam Pasal 64 ayat (1) UU Sistem Perbukuan pun menegaskan bahwa, “Penjualan buku teks pendamping dan buku non teks dilakukan melalui Toko Buku dan atau sarana lain”.
Dari pasal di atas, kita mengetahui bahwa penjualan buku teks pendamping dan buku non teks dijual oleh penerbit melalui toko buku atau sarana lain. Hanya saja penerbit dilarang menjual buku yang dimaksud secara langsung ke satuan dan/atau program pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Memang terdapat aturan dalam Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan bahwa penerbit dilarang menjual buku teks pendamping secara langsung ke satuan dan/atau program pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Namun penerbit diperbolehkan menjual buku teks pendamping melalui toko buku. Penerbit juga diperbolehkan memiliki toko buku karena memang tidak ada larangan yang mengatur.
Jika melanggar larangan di atas, maka penerbit dikenakan sanksi administratif berupa ;peringatan tertulis, penarikan produk dari peredaran, pembekuan izin usaha, dan/ataupencabutan izin usaha. Jika Penerbit Memiliki Toko Buku Untuk dapat dikatakan sebagai penerbit, subjek yang bersangkutan berkewajiban ; memiliki izin usaha penerbitan, memberikan imbalan jasa atas naskah buku yang diterbitkan kepada pemegang hak cipta, memberikan data dan informasi penjualan buku yang akurat, terkini, dan periodik kepada pemegang hak cipta, mencantumkan harga pada belakang kover buku, mencantumkan peruntukan buku sesuai dengan jenjang usia pembaca, dan mencantumkan angka standar buku internasional.
Selanjutnya, pengertian toko buku adalah tempat untuk memperjualbelikan buku. Jika melihat aturan dalam Pasal 1 angka 10 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 2008 tentang Buku (“Permendiknas 2/2008”), toko buku termasuk ke dalam distributor eceran buku atau pengecer, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut ; Distributor eceran buku yang selanjutnya disebut pengecer adalah orang-perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang memperdagangkan buku dengan cara membeli dari penerbit atau distributor dan menjualnya secara eceran kepada konsumen akhir.
Apabila dilihat dari definisi di atas, meskipun penerbit dan toko buku adalah dua entitas hukum yang berbeda. Penerbit dapat memiliki toko buku, karena memang tidak ada larangan mengenai hal tersebut. Terlebih kembali dalam Pasal 64 ayat (1) UU Sistem Perbukuan yang memperbolehkan penjualan buku teks pendamping dan buku non teks di toko buku. Hanya saja harus memenuhi izin sebagaimana dijelaskan di artikel Seluk Beluk Mendirikan Usaha Toko Buku. Adapun legalitas izin penerbitan buku dan pendirian toko buku yang dimaksud adalah terpisah.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Persatuan Wartawan Republik Indonesia (DPC PWRI) Kabupaten Tasikmalaya Chandra F. Simatupang mengatakan, selain larangan pihak sekolah menjual belikan buku LKS diatas, pihak sekolah atau komite pun dilarang keras menjual seragam atau nahan seragam kepada para siswa nya, larangan tersebut sudah diatur tegas di pasal 181a Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, yang menyatakan pendidik dan tenaga kependidikan, baik perorangan maupun kolektif, dilarang menjual buku pelajaran, LKS, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, seragam sekolah, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan.
“Berdasarkan pasal itu sudah jelas. Guru, maupun karyawan di sekolah termasuk komite sekolah sama sekali tidak boleh menjual buku-buku maupun seragam di sekolah. Di pasal itu tertulis, Komite Sekolah, baik perorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di sekolah. Jual beli seragam, buku pelajaran dan LKS yang dilakukan pihak sekolah merupakan mal administrasi, sebuah pelanggaran administrasi, dapat dikategorikan sebagai tindakan Pungutan Liar atau Pungli, yang dapat dikenakan sanksi pidana bagi pelakunya. Praktik jual beli seragam, buku hingga LKS yang dilakukan sekolah maupun komite sekolah sebagai bagian dari tindakan Pungli. Sebab, hal itu menjadi ranah penegak hukum“, ungkapnya.
Lebih lanjut Chandra pun mengatakan, “Sedangkan sanksi administrasi yang dimaksud, adalah dengan melakukan mutasi hingga pencopotan dari jabatan guru atau karyawan sekolah. Dan kewenangan ini menjadi tanggung jawab pimpinan sekolah. Kalau itu sekolah, pimpinan di atasnya berarti Dinas (Pendidikan). Tentu Dinas yang akan memberikan sanksi kepada para kepala sekolah yang melakukan mal administrasi. Dan jelas apabila ada tenaga pendidik atau guru yang menjual buku disekolah itu adalah pungli dan dapat dipidana para pelakunya“, tegasnya.
Lebih lanjut Chandra pun menerangkan, “Dalam PP 17/2010, pemerintah secara tegas melarang setiap kegiatan penjualan seragam dan atribut sekolah di lingkungan sekolah. Larangan tersebut tertuang di dalam Pasal 181 dan Pasal 198 PP 17/2010, yang berbunyi ; Pasal 181 ; Pendidik dan tenaga kependidikan, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang ; menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan. Pasal 198 ; Dewan pendidikan dan/atau komite sekolah/madrasah, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang ; menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan“, paparnya.
“Terhadap pendidik dan tenaga kependidikan yang melakukan penjualan seragam atau bahan seragam dapat dikenai sanksi administratif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Sementara, dewan pendidikan dan/atau komite sekolah/madrasah yang melakukan penjualan seragam atau bahan seragam dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya. Namun demikian, terdapat ketentuan mengenai pengadaan seragam sekolah bagi peserta didik atau siswa dalam Permendikbudristek 50 tahun 2022. Pada prinsipnya, pengadaan pakaian seragam sekolah menjadi tanggung jawab orang tua atau wali peserta didik. Adapun pihak sekolah dapat membantu pengadaan pakaian seragam sekolah dan pakaian adat peserta didik, dengan memprioritaskan peserta didik yang kurang mampu secara ekonomi. Dalam pengadaan pakaian seragam, sekolah tidak boleh mengatur kewajiban dan/atau memberikan pembebanan kepada orang tua atau wali peserta didik untuk membeli pakaian seragam sekolah baru pada setiap kenaikan kelas dan/atau penerimaan peserta didik baru. Apabila ketentuan tersebut dilanggar oleh sekolah, maka pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dan/atau kepala sekolah dikenakan sanksi administratif berupa ; peringatan lisan, peringatan tertulis, penundaan kenaikan pangkat, golongan dan/atau hak-hak jabatan, atau sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Secara lebih khusus, pungutan seragam atau bahan seragam dalam tahapan penerimaan siswa didik baru (“PPDB”) diatur di dalam Pasal 27 ayat (1) huruf b angka 2 Permendikbud 1/2021 yang menyatakan bahwa sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dilarang melakukan pungutan untuk membeli seragam atau buku tertentu yang dikaitkan dengan PPDB. Jika ada pihak sekolah yang memaksa peserta didik untuk membeli seragam atau bahan seragam dalam proses PPDB, maka sekolah dapat dilaporkan ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi melalui Layanan Informasi dan Pengaduan Kemendikbudristek dan/atau dinas pendidikan provinsi atau Kabupaten/Kota. Selain itu, masyarakat juga dapat melakukan pengaduan terhadap sekolah yang melanggar ketentuan tentang pengadaan seragam atau bahan seragam, kepada penyelenggara, ombudsman, dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Pengaduan tersebut diajukan oleh setiap orang yang dirugikan atau oleh pihak lain yang menerima kuasa untuk mewakilinya“, tegasnya. (Ilham Rachman).
Dasar Hukum :
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan.
Referensi; Pasal 212 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (“PP 17/2010”), Pasal 216 ayat (1) PP 17/2010, Pasal 12 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (“Permendikbudristek 50/2022”), Pasal 14 ayat (1) dan (2) Permendikbudristek 50/2022, Pasal 41 ayat (2) dan (3) Permendikbudristek 50/2022, Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (“UU 25/2009”) dan Pasal 42 ayat (1) UU 25/2009.