Abah Rahman meminta seorang pria gagah menyimpan jimat jelang Pileg. Sebuah kertas diikat benang putih.
Hari sudah senja. Tapi matahari masih saja mengintip, meski jam menunjuk angka 6 lewat belasan menit. Awan di langit bergelayut cerah. Terang.
Di lantai batu, di sebuah pondok, piring kaleng berisi kue dan gorengan, tergeletak. Masih tersisa pisang, ubi dan bakwan goreng. Ada juga cabe hijau. Pelengkap santap gorengan.
Di dekat piring, ada 2 cangkir kopi. Hitam pekat. Ntah punya siapa. Saya baru sampai di pondok itu. Melihat jamuan makan sore di piring kaleng itu, liur saya nyaris terjun bebas.
Tapi saya tahan, karena belum dipersila oleh penunggu pondok, Abah Rahman. Malu, karena belum diijinkan mengunyah gorengan tersebut.
Padahal, perut saya keroncongan hebat. Belum disumpal makanan lagi, selepas makan siang. Kebiasaan saya sekarang, selalu ngemil jelang sore atau senja. Ditemani kopi tentunya.
Di pondok bambu itulah saya menunggu Abah Rahman. Saya tak berani menyantap gorengan itu sebelum Abah Rahman datang. Dia lagi sibuk meritual seorang pria, tak jauh dari pondok.
Setelah ditunggu beberapa lama, Abah Rahman muncul. Saya berharap segera dipersilakan makan dan minum. Tapi ternyata belum. Abah Rahman malah bertanya dari mana saya tadi.
Hmmmm….kesal sedikit sebetulnya, karena cacing dalam perut terus saja berkicau. Minta disulangi panganan yang hangat-hangat.
Abah Rahman, berbeda jelang maghrib itu. Pakai kemeja kotak-kotak dan blangkon. Dia tak menawarkan makanan atau minuman. Dia hanya menyilakan saya duduk dan langsung berbicara tentang jimat.
Tak sopan sebetulnya, memperlakukan tamu seperti itu. Tapi sudahlah, saya coba bendung dulu liur yang kadung terjun bebas tadi. Dari pada nelangsa, menahan keroncongan.
Abah Rahman langsung to do point. Dia cerita soal pria yang baru saja diritualnya. Pria itu naik mobil Mazda warna biru. Orangnya ganteng. Berambut lurus dan kulitnya putih.
Tingginya hanya sepantaran anak SMA kelas 1. Sekitar 168 an sentimeter. Dari penampilannya, saya tebak orang beduit. Abah Rahman bilang pria itu meminta jimat.
Jimat kebal? Tak mungkin. Karena pria itu metroseksual. Tak sangar bak centeng atau preman. Abah Rahman hanya bilang, pria itu butuh ‘penguat jiwa’.
Saya bingung. Apa maksud penguat jiwa versi dukun berbadan gempal itu? Abah Rahman menyeka keringat di keningnya. “Alot juga ritualnya,”katanya.
Menurut Abah Rahman, alotnya ritual disebabkan ada orang yang memginginkan kursi pria tadi. Cuma cara menginginkannya ditempuh jalur tak lazim. Cara ghoib. Bukan berkompetisi sehat menarik suara rakyat.
Saya mulai faham. Desas desus bahwa Abah Rahman juga menyediakan jimat, selain pelet dan pengasihan, terbukti.
Saya menanyakan bagaimana cara memperkuat jiwa pria tadi. Tiba-tiba cacing di perut saya, ngomel lagi. Karena tak tahan, refleks tangan kanan menyambar sepotong bakwan nganggur. Meski Abah Rahman belum menyilakan. Saya lahap secepat kilat.
Abah Rahman menjelaskan, jimat memperkuat jiwa diberikan agar posisi pria tadi dikancah politik, langgeng dalam waktu lama. Meski dihadapkan pada pesaing ketat, kursinya tak akan goyah.
“Namanya jimat politik. Biasa dipakai para politisi biar kursinya nyaman dalam waktu lama. Berfungsi juga untuk membuat pejabat atau politisi karirnya moncer, aman dari marabahaya,”kata Abah Rahman.
Seberapa ampuh jimatnya? Wallahulam. Tanyakan langsung sama Abah Rahman. WA saja dia dinomor 081376306023. Karena dia ahlinya. Bukan saya yang cuma menuliskan kisahnya. (Wiku Saptanadi)